Rabiah Al-Adawiyah, seorang wanita sufi terbesar dalam sejarah. Ia lahir di Basrah-Irak tahun 713 M. pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Nama lengkapnya adalah Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah Al-Basriyah.
Kisah perjalanan hidupnya sangat menginspirasi umat Islam, termasuk tokoh-tokoh besar Islam. Bagaimana tidak? Rabiah Al-Adawiyah merupakan sosok wanita sufi pertama yang memberikan pemahaman tentang bagaimana rasa cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta dapat menghantarkannya pada penyerahan diri secara penuh.
Rabiah telah mengajarkan, bagaimana mencintai Allah SWT dengan sebenar-benarnya. Berikut merupakan fakta Rabiah Al-Adawiyah dengan kesederhanaan hidupnya, tetapi begitu luas hatinya.
Dilahirkan dari Keluarga Kurang Mampu
Rabiah Al-Adawiyah lahir di tengah keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Nama Rabiah berasal dari Bahasa Arab yang berarti empat, karena ia merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Rabiah merupakan putri bungsu dari ayahnya yang bernama Ismail. Keluarga Ismail bahkan tidak memiliki barang berharga apapun di rumahnya karena keadaan ekonominya.
Saat Rabiah baru lahir, orang tuanya hanya mengandalkan pelukan dari sang Ibu agar Rabiah tidak kedinginan, sebab mereka tidak mempunyai kain dan minyak untuk penerangan. Meskipun demikian, di kalangan sekitarnya, keluarga Ismail terkenal dalam ketaatannya kepada Allah SWT.
Yatim Piatu Sejak Usia Remaja
Rabiah Al-Adawiyah menjadi yatim piatu beberapa tahun setelah kelahirannya. Sejak ayahnya wafat, ia bekerja sebagai penarik perahu yang membantu penduduk menyeberang dari tepi Sungai Daljah ke tepi sungai lain. Perahu yang digunakannya untuk mencari nafkah merupakan satu-satunya peninggalan dari Ismail. Sementara ketiga kakak perempuannya bekerja sebagai penenun di rumah.
Tidak lama setelah meninggalnya kedua orang tua Rabiah, kota Basrah mengalami bencana alam berupa kekeringan dan kemarau panjang. Hal inilah yang membuat penduduk kota Basrah mengalami kelaparan. Akhirnya, Rabiah dan ketiga kakak perempuannya pun hidup secara nomaden. Sampai suatu ketika, Rabiah terpisah dari saudara-saudaranya dan hidup sendirian.
Pernah Menjadi Seorang Budak
Tercatat dalam sejarah, ada sebuah cerita, ketika Rabiah berjalan seorang diri setelah terpisah dari saudara-saudaranya, ada orang asing yang menghampirinya. Orang itu kemudian menangkapnya, dan menukar Rabiah dengan enam dirham kepada seorang pedagang. Sejak saat itu, Rabiah pun menjadi seorang budak.
Kemalangan tidak lantas berhenti menyelimuti Rabiah, sebab ia selalu menerima perlakuan kasar dan keras oleh majikannya. Majikan Rabiah kerap memerintahnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Walau demikian, Rabiah selalu melewati hari-harinya dengan sabar. Ia tetap beribadah kepada Allah SWT di samping kesibukannya.
Hingga suatu malam, ia berdoa. Majikannya mendengar dan melihatnya berdoa. Doa yang kemudian membuat majikannya merenung dan pada akhirnya memutuskan untuk membebaskannya. Inilah doa Rabiah:
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu. Jika aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku ke bawah kekuasaan seorang hamba-Mu.”
Kealiman dan Kezuhudan Rabiah Al-Adawiyah
Setelah bebas dari majikannya, Rabiah berkelana di padang pasir seorang diri. Ia senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Ia pun kemudian menunaikan ibadah haji. Nama Rabiah pun mulai dikenal sebagai seorang yang zuhud. Kezuhudannya inilah yang membuat Rabiah menjadi perawan seumur hidupnya. Ada beberapa sufi yang terkenal pada zamannya, bahkan mendatangi majelis Rabiah untuk berguru kepadanya.
Pengalaman hidup Rabiah Al-Adawiyah yang penuh liku justru membuatnya memiliki pengalaman sufi luar biasa hingga akhir hayatnya. Terdapat beberapa keterangan yang berbeda tentang tahun wafatnya. Ada yang menyebutkan 135 H/752 M, ada pula yang menyebutkan 185 H/801 M.
Terlepas dari semua itu, Rabiah Al-Adawiyah telah memberikan kita teladan bagaimana seorang hamba mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan tulus, tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pahala, tanpa ada ketakutan akan siksaan apabila tidak mematuhi-Nya. Semua itu harus didasari dengan ketulusan hanya untuk mendapatkan rida-Nya, karena rasa cinta yang telah tertanam dalam hati seorang hamba kepada Tuhannya.
Referensi:
Rahmawati, Fitri. 2013. Rabiah Al-Adawiyah Perawan Suci Perindu Cinta Allah. Jakarta: Al-Maghfiroh.
Baca Juga