Menelusuri Jejak Penggunaan Tanda Baca dalam Al-Qur’an.
Teks Mushaf Al-Qur’an pada awalnya tidaklah sama dengan teks mushaf saat ini. Penulis teks mushaf menulis menggunakan khat khufi dengan karakter khasnya yang memiliki tingkat kerumitan tersendiri.
Abul Aswad ad Duali (w. 688 M) dan Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (w. 786 M) dari Bashrah menjadi dua tokoh kunci dalam hal ini, yakni khazanah sejarah penulisan Bahasa Al-Qur’an. Keduanya menjadi tokoh utama dalam cikal bakal perumusan kaidah tulis menulis Bahasa Al-Qur’an serta penyempurnaan Bahasa Arab.
Salah satu karya yang membawa perubahan besar adalah lahirnya Kitab al-Ayn, sebuah kamus Bahasa Arab pertama. Penelitian atas manuskrip Al-Qur’an menjadi petunjuk tentang betapa sulitnya membaca teks saat itu. Dalam setiap huruf hijaiyyah, tidak terdapat tanda baca sama sekali. Tidak ada tanda fathah, kasrah, dlammah, sukun, bahkan tanda titik di atas huruf sekalipun.
Membedakan huruf ba dan ta saja tidak akan bisa jika tidak melihat susunan kata sebelum dan sesudahnya. Tentu saja karena tidak ada tanda titik sama sekali. Sebab itu, tidak mudah menjadi penulis mushaf dan mufasir. Hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu yang dapat menjadi pakar di bidang ini.
Penulis teks mushaf adalah orang yang paham betul dalam membedakan huruf per huruf, serta kata per kata dengan kecakapan dan kepekaan bahasa. Selain itu, ia harus mampu menangkap entitas-entitas simbol yang mengandung makna. Kesalahan dalam menangkap entitas-entitas tersebut akan mengakibatkan kesalahan penafsiran hingga kesalahan pemahaman atas arti dan makna sesunggguhnya.
Awal Munculnya Tanda Baca Pada Mushaf Al-Qur’an
Beberapa kisah kesalahan dalam membaca Al-Qur’an yang terekam dalam sejarah adalah Ibnu Ziyad. Ia adalah seorang putra gubernur ternama yang salah membaca Al-Qur’an di hadapan Muawiyyah. Hal ini cukup mengecewakan sehingga ia harus pulang dari istana. Ini menjadi salah satu kisah yang menceritakan awal terciptanya ide untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Qur’an.
Setelah kejadian tersebut, Gubernur Ziyad bersikeras membujuk Abul Aswad ad-Duali, seorang pakar bahasa untuk menambahkan tanda baca pada Al-Qur’an. Sejak saat itu, Abul Aswad ad-Duali memasang tanda titik di depan huruf untuk tanda damah sebagai tanda baca “u”, atas huruf untuk fathah sebagai tanda baca “a”, dan bawah huruf untuk kasrah sebagai tanda baca “i”.
Al-Farahidi dan generasi setelahnya kemudian menyempurnakan kaidah tersebut. Ia menjadikan wawu kecil sebagai tanda damah, alif kecil di atas sebagai fathah, di bawah sebagai kasrah, ujung sin sebagai tasydid, dan ujung cha’ sebagai sukun.
Pada saat itu, terdapat sebuah kepercayaan bahwa mengubah mushaf sama saja dengan melakukan dosa. Terutama jika Nabi saw. belum atau tidak pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Namun, inovasi Abul Aswad dan Farahidi membuktikan bahwa bid’ah terkadang menjadi suatu hal penting jika melakukannya dengan bijaksana dan perhitungan yang matang.
Peristiwa ini menjadi cukup populer di kalangan akademisi Al-Qur’an yang akhirnya membawa perkembangan kaidah tulis mushaf seperti mulai banyaknya jenis huruf atau khat (jenis font). Seiring berjalannya waktu, khat khufi mulai tergantikan oleh khat naskhi sebagai khat pilihan dalam mushaf. Para otoritator lebih memilih khat naskhi yang memiliki tingkat kemudahan dan lebih efisien dalam membacanya.
Beberapa khat yang terkenal adalah khat diwani, farisi, khufi, tsulutsi, riq’ah, naskhi, farisi, dan seterusnya. Khat-khat yang tidak digunakan secara umum dalam penulisan Al-Qur’an bukan berarti tidak populer, namun tetap digunakan dengan fungsi dan kebutuhan yang berbeda. Seperti khat tsulutsi yang digunakan untuk khat kaligrafi pada kain kiswah ka’bah dan khat riqah yang digunakan dalam urusan surat menyurat, terutama pada abad pertengahan.
Perkembangan Penulisan Mushaf Al-Qur’an
Pada fase berikutnya, menulis mushaf telah berkembang pada taraf mempertimbangkan estetika seni dan keindahan. Terutama saat munculnya karya Khalilah wa Damimah dan Maqamat Al Hariri. Dua kitab pertama yang menampilkan gambar dan lukisan warna warni pada naskah. Ulama yang menolak adanya gambar makhluk hidup pada Al-Qur’an yang suci dan sakral kemudian menggantinya dengan ornamen dan seni geometri.
Seni geometri ini pada akhirnya menjadi populer. Berkat temuan ini, hampir semua mushaf memiliki frame atau bingkai pada surat Al-Fatihah dan awal surat Al-Baqarah. Pada perkembangannya, penulis mushaf kemudian banyak yang menggunakan gaya penulisan ini, bahkan semakin populer setelah Johanes Gutenberg menemukan mesin percetakan pertama di Mainz Jerman pada Abad ke-15. Mesin percetakan ini kemudian digunakan untuk melakukan pencetakan pertama mushaf Al-Qur’an di Italia pada pertengahan abad ke-16.
Penjelasan di atas merupakan cuplikan dari fase-fase transmisi dan transformasi tulis Al-Qur’an. Pada mulanya, memunculkan perubahan, terlebih dalam simbol keagamaan seperti wahyu memiliki konsekuensi yang besar.
Para ulama mencurahkan waktu, tenaga, dan pengorbanan yang luar biasa. Hal tersebut karena harus berhadapan dengan kelompok yang kapan saja siap menghujat atas perubahan yang mereka lakukan. Di luar hal tersebut, mereka tetap gigih, hingga akhirnya perubahan tersebut membawa manfaat bagi keberlangsungan Islam.
Bayangkan seandainya saat ini Mushaf Al-Qur’an tidak memiliki titik atau syakl, maka akan sangat sulit untuk membacanya, apalagi untuk memahami makna dan mengkajinya. Bahkan dengan Al-Qur’an cetak yang ada saat ini pun, masih terdapat beberapa kesalahan tulisan atau cetakan pada ayat Al-Qur’an.
Lahirnya artefak, ornamen, nuqthah, syakl, hingga pencetakan pertama Al-Qur’an oleh Johanes Gutenberg di atas menandai pentingnya perubahan untuk keberlangsungan itu sendiri. Artinya, inovasi dalam sebuah tradisi akan terus menjawab tantangan zaman untuk dapat melanjutkan eksistensi dan mempertahankan substansi suatu hal.
Baca juga